Dalam dunia yang memusuhi orang miskin, cinta bisa menjadi satu-satunya hal yang tersisa. Tapi bagaimana jika cinta itu sendiri harus dikoyak dan ditelan, secara harfiah, agar bisa terus hidup? Hunger, novela pendek karya penulis Korea Selatan Choi Jin-young, adalah kisah yang melampaui batas kenyamanan, mengguncang moral, dan menghadirkan cinta sebagai bentuk protes terakhir terhadap sistem yang menelan hidup manusia.
Tentang Buku
- Judul: Hunger
- Penulis: Choi Jin-young
- Penerbit: Brazen
- Jumlah Halaman: 144 Halaman
- Tahun Publikasi: 2025
- Harga: Rp 310.000 dapat dibeli disini atau disini
Blurb: Ketika Cinta Bertahan di Tubuh yang Mati
Cerita ini dimulai dengan satu adegan brutal nan lirih: Dam menemukan jasad kekasihnya, Gu, tergeletak tak bernyawa di jalan. Bukannya menangis atau melarikan diri, Dam memeluk tubuh itu, membersihkannya... lalu mulai memakannya.
Namun Hunger bukan kisah horor murahan. Ini bukan zombie fiction. Kanibalisme di sini bukan tentang darah dan teror, melainkan tentang kedekatan yang ekstrem yaitu bentuk paling intens dari cinta, kehilangan, dan keputusasaan.
Narasi kemudian bergantian mengupas kisah Dam dan Gu, dua orang muda dari kelas sosial paling rendah, yang tumbuh di lingkungan penuh utang, kehilangan, dan rasa lapar yang tak pernah usai baik secara fisik maupun emosional. Mereka saling mencintai, saling menggantungkan diri satu sama lain, dan saling memberi satu-satunya yang tak pernah bisa mereka punya: rasa aman.
Tapi rasa aman itu rapuh di dunia yang didominasi oleh sistem utang, kekerasan ekonomi, dan kemiskinan struktural. Dan pada akhirnya, cinta mereka pun harus ditelan mentah-mentah baik secara simbolik dan literal.
Gaya Bahasa: Puitik, Mentah, dan Kabur
Choi Jin-young menulis dengan gaya yang tak biasa. Gaya bahasanya padat, nyaris seperti puisi, tetapi juga mentah dan tak diberi bumbu. Narasinya disampaikan secara langsung tanpa filter, tapi justru dalam kebrutalannya kita menemukan semacam keindahan.
Yang mencolok adalah penggunaan POV (point of view) yang tidak konvensional. Narasi berpindah antara Dam dan Gu, namun tanpa penanda yang jelas—tidak ada nama, tidak ada tanda kutip, tidak ada bab baru. Pembaca harus menebak siapa yang sedang bicara melalui nuansa dan detail kecil. Ini menciptakan pengalaman membaca yang membingungkan, melelahkan, tapi juga intim, seolah kita diseret masuk ke dalam ruang kesadaran mereka yang telah koyak.
Tema dan Simbolisme: Kelaparan yang Tak Pernah Sekadar Lapar
1. Kelaparan Sebagai Eksistensi
Kelaparan di sini tak sekadar soal perut. Dam dan Gu lapar akan keadilan, lapar akan kelembutan, lapar akan dunia yang memungkinkan mereka hidup tanpa harus memikul utang yang bukan milik mereka. Kelaparan menjadi keadaan ontologis, sesuatu yang menyusun keberadaan mereka sejak kecil.
2. Kapitalisme dan Warisan Beban
Gu dibunuh karena utang orang tuanya. Dam kehilangan keluarga karena sistem sosial yang gagal. Keduanya adalah korban dari dunia yang menghukum mereka bukan karena kesalahan, tapi karena ketidakhadiran privilese. Buku ini adalah tudingan tajam pada sistem ekonomi yang memungkinkan tragedi seperti itu terjadi secara rutin.
3. Tubuh Sebagai Ruang Perlawanan
Tubuh adalah medan perang. Dalam novel ini, tubuh bukan hanya tempat rasa sakit, tapi juga tempat memori, cinta, dan perlawanan. Ketika Dam memakan Gu, itu bukan tindakan gila. Itu adalah tindakan terakhir untuk mempertahankan cinta, menjadikannya satu dengan dirinya, dan menolak sistem yang bahkan tak memberi ruang untuk pemakaman yang layak.
Struktur Naratif: Labil, Eksperimental, Tapi Bermakna
Struktur novel ini pendek yaitu 144 halaman, tapi padat dengan lapisan makna. Pergantian sudut pandang bisa membuat pembaca frustrasi, namun justru itu yang membangun atmosfer disorientasi. Dalam hidup Gu dan Dam, tidak ada kejelasan. Masa depan kabur, suara mereka menyatu, penderitaan mereka tumpang tindih.
Alur tidak linier secara ketat. Memori bercampur dengan masa kini, dan logika waktu runtuh di bawah beban kehilangan. Hal yang menuntut perhatian penuh dari pembaca, tapi hasilnya adalah pengalaman membaca yang mendalam tidak cuma cerita, tapi ruang emosi.
Mengapa Novel Ini Menarik dan Layak Dibaca?
Tidak banyak novel yang bisa membuatmu merasa mual dan haru dalam waktu bersamaan. Hunger melakukan itu dengan kejam dan lembut sekaligus.
Kekuatan Hunger bukan hanya pada konten yang ekstrem, tapi juga pada penggambaran hubungan manusia yang begitu rentan. Dam dan Gu bukan pasangan romantis ideal. Mereka adalah dua orang yang tenggelam dalam sistem, saling berpegangan seperti sisa napas terakhir. Dan dalam cinta mereka yang kelam, kita menemukan cerminan diri, bagaimana kita semua mencari tempat yang aman untuk menyandarkan beban.
Jika kamu mencari bacaan yang manis, Hunger akan mengecewakanmu. Tapi jika kamu ingin menyelami jurang eksistensial tentang cinta, kemiskinan, dan tubuh yang lelah, buku ini akan menghantui kamu setelah halaman terakhir selesai dibaca.
Apakah Cinta Bisa Bertahan di Tengah Dunia yang Kejam?
Jujur, Hunger bukan buku yang mudah. Salah satu buku faboritku di tahun ini. Hunger seakan mengajak kita sebagai pembaca bertanya:
- Bagaimana jika cinta tak cukup melindungi kita?
- Apakah tubuh kita satu-satunya tempat aman untuk menyimpan orang yang kita cintai?
- Dan jika dunia terus menolak kita, apakah tindakan yang tak masuk akal bisa menjadi satu-satunya yang masuk akal?
Jawaban Choi Jin-young: mungkin saja.
Kalau kamu ingin membaca kisah yang menantang batas moral dan norma cinta, Hunger akan memberimu semua itu—dan meninggalkan jejak luka yang tak mudah hilang.
0 comments