Reservoir Bitches: Kisah-Kisah Perempuan yang Tidak Lagi Mau Diam — Normal People ID

Reservoir Bitches: Kisah-Kisah Perempuan yang Tidak Lagi Mau Diam

Kadang, kekerasan tak hanya datang dari senjata, tapi juga dari sistem yang membungkam. Dari keluarga yang menuntut, dari cinta yang berubah jadi jebakan, atau dari negara yang tak hadir melindungi. Di situlah Reservoir Bitches lahir, sebuah kumpulan cerita pendek oleh penulis Meksiko, Dahlia de la Cerda, yang berisi 13 suara perempuan: marah, getir, dan sarkastik.


Tentang Buku

Judul: Reservoir Bitches
Penulis: Dahlia de la Cerda
Penerbit: Scribe
Jumlah Halaman:184 halaman
Harga: Rp 235.000

Suara-Suara dari Pinggiran


Seluruh cerita dituturkan dari sudut pandang orang pertama yaitu perempuan-perempuan dari latar belakang berbeda: yang miskin, yang terlibat narkotika, yang terjebak cinta yang abbusive, yang melawan, yang kehilangan. Beberapa mencoba bertahan hidup dengan uang pas-pasan, kadang harus memilih antara makan siang atau makan malam. Beberapa lagi bergelimang harta hasil warisan keluarga narco atau politikus korup. Tapi ada benang merah yang mengikat mereka semua: sistem yang membuat perempuan harus selalu siaga, selalu curiga, selalu waspada.

Dalam cerita seperti ‘Parsley and Coca-Cola’, kita melihat realita pahit soal aborsi ilegal. Di ‘Mariposa de Barrio’, seorang ibu muda memutus hubungan dengan ayah dari anaknya. Dan di ‘Yuliana’, seorang gadis pewaris bisnis kartel, kita diajak menelusuri labirin moralitas yang abu-abu antara kuasa, kekerasan, dan survival.

Humor, Dendam, dan Bahasa Jalanan

Yang bikin Reservoir Bitches terasa segar dan kasar dalam satu tarikan napas adalah bahasanya: campuran Spanglish, slang jalanan, dan umpatan yang terasa autentik. Ini bukan prosa yang dimuliakan, ini bahasa hidup yang apa adanya. Seperti mendengar perempuan muda bercerita di halte, di bar, atau di ruang tamu sambil menyulut rokok kedua mereka. Ada humor gelap yang membuat tertawa pahit, lalu merenung.

Tubuh, Kekuasaan, dan Kematian yang Tak Pernah Jauh

Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan menjadi tema yang terus muncul kadang secara gamblang, kadang lewat bayangan. Ada cerita-cerita yang dibisikkan dari alam kubur, seakan-akan para tokohnya sudah tahu bahwa sistem ini akan memakan mereka juga. Dalam kisah ‘God Forgive Us’, dua penjahit perempuan menghadapi penyusup. Di ‘Sequins’, kita diajak masuk ke kehidupan seorang pekerja seks trans yang berakhir tragis.

Dan ketika sampai di cerita penutup, ‘La Huesera’, segalanya terasa memuncak: sebuah surat panjang dari seorang perempuan yang ditinggal mati sahabatnya. Bukan karena bunuh diri, tapi karena kekerasan yang dilakukan lelaki. Di sinilah penulis menyatakan kemarahannya dengan paling telanjang dan emosional. Meksiko, katanya, adalah negeri yang membenci perempuan. Kalimat itu menggantung, menusuk, dan sayangnya, terasa benar.

Kenapa Buku Ini Penting?

Karena Reservoir Bitches bukan sekadar kumpulan cerita. Ini dokumentasi kultural. Ini semacam pengakuan kolektif bahwa perempuan di Meksiko dan mungkin juga di negeri-negeri lain, termasuk Indonesia tidak hanya berhadapan dengan lelaki kejam, tapi juga dengan sistem yang menormalisasi kekejaman itu.

Membaca buku ini seperti membuka kotak Pandora yang selama ini enggan dibuka. Kamu akan menemukan potongan kemarahan, luka, tawa getir, dan secercah pemberontakan. Dan tak seperti kisah-kisah yang sering kita baca, Reservoir Bitches tidak menjanjikan akhir yang manis. Karena hidup perempuan, sering kali, tidak diberi kemewahan seperti itu.

0 comments