Literasi Emosional vs Literasi Kritis: Apa yang Sebenarnya Diajarkan Buku Populer?
Hari ini, kita hidup di zaman di mana buku-buku yang paling laris justru bukan buku filsafat, sejarah, sains, atau sastra berat. Buku-buku terlaris adalah yang penuh dengan kata-kata motivasi, afirmasi, dan janji akan pemulihan emosional. Kutipan demi kutipan bertebaran di Instagram dan TikTok. Kalimat-kalimat manis disebar tanpa konteks, lalu diserap dengan utuh seolah itu adalah kebenaran absolut. Buku tak lagi dibaca untuk membangun argumen atau memperluas pemikiran, tapi untuk meredam kesedihan dan membungkus luka.
Tentu, ini bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk. Tapi kita perlu bertanya: apa yang sebenarnya diajarkan oleh buku-buku populer hari ini? Apakah mereka membangun literasi emosional—kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri? Ataukah mereka justru membentuk ilusi kenyamanan dan menghalangi pembacanya untuk berpikir lebih dalam, lebih kritis, dan lebih reflektif?
1. Naiknya Popularitas Literasi Emosional
Literasi emosional bukan hal yang remeh. Ia penting. Di dunia yang semakin kompleks, kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain adalah fondasi bagi empati, koneksi, dan kesehatan mental.
Buku-buku populer hari ini banyak mengangkat tema-tema seperti: menerima diri, menyembuhkan luka batin, memaafkan masa lalu, mencintai kekurangan, dan menemukan makna hidup. Kalimat seperti "kamu cukup," "peluk dirimu sendiri," atau "maafkan dirimu yang dulu" menjadi mantra modern yang menjanjikan ketenangan di tengah dunia yang kacau.
Ini adalah bentuk literasi emosional yang menghibur, memvalidasi, dan memberi ruang bagi perasaan.
Namun sayangnya, literasi emosional dalam buku populer sering kali hanya berhenti pada permukaan.
Ia mengajarkan kita untuk "menerima" sebelum kita benar-benar mengerti.
Ia menyuruh kita "memaafkan" tanpa memeriksa penyebab.
Ia mendorong kita untuk "move on" sebelum memberi ruang untuk berduka.
Alih-alih menjadi jalan masuk ke pemahaman yang lebih dalam, ia justru membungkam kegelisahan dengan pelipur lara. Padahal, kegelisahan sering kali adalah pintu pertama menuju kesadaran.
2. Literasi Kritis yang Tertinggal
Literasi kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mempertanyakan informasi yang diterima. Ia mengajarkan kita untuk tidak menelan mentah-mentah. Untuk bertanya: kenapa? siapa yang bicara? untuk siapa pesan ini dibuat? siapa yang diuntungkan?
Sayangnya, ini yang paling absen dalam mayoritas buku populer.
Buku yang mengajak kita untuk berpikir kritis tidak selalu nyaman. Kadang menyakitkan. Ia merobek ilusi, memaksa kita bertanggung jawab, dan menyodorkan realitas yang tak selalu indah. Tapi di situlah tumbuhnya daya pikir dan kesadaran sosial.
Buku yang baik bukan hanya membuat kita merasa "ditemani" dalam kesedihan, tapi juga mengajak kita bertanya kenapa kesedihan itu muncul. Apakah ini karena trauma pribadi, atau akibat dari sistem sosial yang menindas? Apakah ini luka yang harus kita sembuhkan sendiri, atau luka yang muncul karena dunia yang tidak adil?
Tanpa kemampuan berpikir kritis, kita menjadi pembaca yang jinak. Kita tahu cara menangis, tapi tidak tahu cara bertanya. Kita tahu caranya memaafkan, tapi lupa caranya menggugat. Kita tahu bagaimana berdamai, tapi tidak tahu bagaimana menuntut perubahan.
3. Saat Emosi Dipisahkan dari Konteks Sosial
Banyak buku populer menggiring kita untuk berpikir bahwa semua emosi adalah urusan pribadi. Bahwa kalau kamu sedih, itu karena kamu belum bersyukur. Kalau kamu gagal, itu karena kamu belum cukup positif. Kalau kamu trauma, itu karena kamu belum melepaskan masa lalu.
Padahal, emosi tidak pernah netral. Ia terbentuk oleh sejarah hidup, relasi kuasa, dan struktur sosial yang menekan atau memberi ruang.
Misalnya: bagaimana kita bisa bicara tentang "self-love" kepada perempuan yang hidup dalam budaya patriarki yang terus-menerus merendahkan tubuh dan pikirannya?
Bagaimana kita bisa menyuruh orang untuk "memilih bahagia" ketika mereka hidup dalam kemiskinan struktural, akses pendidikan terbatas, atau menjadi korban ketidakadilan?
Dengan mengabaikan konteks ini, buku-buku populer secara tidak sadar melanggengkan narasi bahwa kesedihan dan kebahagiaan sepenuhnya tanggung jawab individu. Bahwa semua masalah bisa selesai dengan afirmasi dan journaling.
Ini bukan literasi. Ini pelarian.
4. Kutipan yang Melemahkan Daya Pikir
“Kamu kuat.”
“Semua akan baik-baik saja.”
“Kamu layak dicintai.”
Kutipan ini, jika dibaca tanpa konteks, memang bisa menenangkan. Tapi saat dijadikan konsumsi harian, ia membentuk cara berpikir yang malas.
Kita jadi kecanduan kalimat pendek.
Kita jadi terbiasa membaca hanya untuk merasa, bukan untuk memahami.
Kita berhenti membaca buku yang sulit karena "terlalu berat," padahal justru di situlah tantangan intelektual yang sesungguhnya.
Kita lupa bahwa literasi bukan soal seberapa banyak buku yang kita baca. Tapi bagaimana kita membaca — dengan otak dan hati yang bekerja bersamaan.
5. Keseimbangan yang Perlu Dibangun
Tentu saja, literasi emosional dan literasi kritis tidak harus saling meniadakan. Justru keduanya harus berjalan bersama.
Buku yang baik akan mengajakmu memeluk lukamu, lalu mengajakmu menyelami akar-akar luka itu. Buku yang baik bukan hanya membuatmu menangis, tapi juga membuatmu berpikir, bertanya, dan menggugat.
Literasi emosional yang sehat adalah yang membuka ruang untuk menangis dan marah. Untuk berdamai dan bertanya. Untuk memaafkan dan mengubah sistem.
Begitu pula literasi kritis yang baik adalah yang tidak kehilangan kelembutan. Yang tetap manusiawi. Yang tidak menghakimi kesedihan, tapi memberi arah ke mana energi sedih itu bisa diarahkan.
6. Jadi, Apa yang Perlu Kita Lakukan Sebagai Pembaca?
- Jangan cepat puas dengan kalimat manis. Tanyakan konteksnya.
- Kalau buku itu membuatmu merasa lebih baik, bagus. Tapi jangan berhenti di situ. Tanyakan: kenapa aku merasa begini? apa yang disembunyikan oleh perasaan nyaman ini?
- Bacalah buku-buku yang menantang. Yang tidak selalu menyenangkan. Yang membuatmu berhenti dan berpikir. Buku semacam ini sering kali bukan best seller — tapi merekalah yang mengubah cara pandang.
- Diskusikan bacaanmu dengan orang lain. Jangan hanya membaca dalam ruang gema. Cari perspektif berbeda.
- Dan yang paling penting: sadari bahwa literasi bukan sekadar aktivitas intelektual. Ia adalah tindakan politik, sosial, dan spiritual. Ia membentuk cara kita melihat dunia dan diri sendiri.
Penutup: Kita Butuh Bacaan yang Mengganggu, Bukan Cuma Menghibur
Buku populer punya tempatnya sendiri. Ia bisa menjadi pintu masuk. Bisa menjadi teman dalam malam-malam gelap. Tapi jangan jadikan ia tempat berdiam selamanya.
Setelah kamu sembuh, bertanyalah.
Setelah kamu tenang, gugatlah.
Setelah kamu merasa dipeluk, pergilah mencari kebenaran yang lebih besar.
Karena pada akhirnya, literasi yang sehat bukan cuma membuat kita merasa baik. Tapi membuat kita menjadi manusia yang utuh: berpikir, merasakan, dan bertindak.
Dan itu tidak akan datang dari kutipan pendek.
Tapi dari keberanian membaca secara utuh dan berpikir secara mendalam.
0 comments