Ada masa ketika membuat konten adalah bentuk ekspresi diri. Sebuah cara untuk menyuarakan pikiran, membagikan cerita, dan menanam nilai dalam media digital yang luas. Namun, perlahan tapi pasti, semua itu mulai berubah. Di era algoritma, kreativitas tidak lagi lahir dari hati, melainkan dari keharusan untuk relevan. Konten bukan lagi soal isi, melainkan soal impresi.
Kita hidup dalam zaman yang mendorong semua orang untuk bicara. Terus bicara. Tanpa henti. Seolah diam adalah dosa besar yang akan membuatmu lenyap dari peta digital. Maka kita pun mulai melihat konten-konten yang seragam, diulang, dibahas ulang, dikemas ulang, dan dibagikan ulang. Tips dan trik yang sama, insight yang didaur ulang, opini yang tidak lagi segar
Apakah ini yang disebut kreativitas di era modern?
Homogenitas yang Menyamar Jadi Tren
Ketika banyak orang bicara tentang hal yang sama, dengan nada yang sama, dan gaya visual yang hampir identik, kita sedang menyaksikan homogenitas menyamar jadi tren. Satu konten viral tentang "5 cara membangun morning routine" akan disalin oleh ribuan kreator lainnya. Dengan font yang sama, transisi yang mirip, bahkan skrip yang hampir tidak diubah.
Ini bukan hanya kemalasan. Ini adalah bentuk survival. Sebab algoritma memberi hadiah pada apa yang familiar. Bukan yang orisinal.
Dan akhirnya, platform-platform media sosial kita menjadi pasar malam penuh teriakan serupa. Tidak lagi ada ruang untuk keheningan, kedalaman, atau sudut pandang yang benar-benar baru.
Untuk Tetap Relevan, Haruskah Kita Ikut Membahas Segalanya?
Salah satu tekanan terbesar menjadi kreator hari ini adalah kebutuhan untuk menanggapi segala hal. Ketika ada topik viral, para kreator seolah berpacu: siapa yang bisa membuat konten tercepat dan paling menarik tentang topik itu? Apakah itu berita selebriti, isu sosial, tren parenting, atau bahkan sekadar makanan baru yang sedang hits.
Relevansi menjadi mata uang utama. Tapi dalam kejar-kejaran itu, kita mulai kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: makna.
Apakah kita benar-benar peduli terhadap apa yang kita komentari? Ataukah kita hanya merasa perlu ikut nimbrung, agar tetap terlihat ada di peta percakapan?
Semakin sering kita bicara tanpa benar-benar punya sesuatu untuk dikatakan, semakin hampa konten kita. Lama-lama, audiens pun bisa merasakannya. Mereka tahu mana konten yang dibuat dengan niat, dan mana yang hanya numpang lewat.
Otentisitas: Barang Langka di Tengah Kebisingan
Dalam dunia konten yang terus bergerak cepat, otentisitas menjadi barang mewah. Konten yang jujur, yang tidak mengikuti template viral, yang menawarkan sudut pandang baru—memang lebih sulit mendapatkan atensi. Tapi justru karena itulah ia berharga.
Konten otentik mungkin tidak viral dalam semalam. Tapi konten itu punya daya tinggal. Ia diingat. Ia mengendap.
Ketika kita menonton video yang terasa personal, membaca tulisan yang terasa seperti ditulis untukmu, atau mendengar podcast yang membahas sesuatu dengan ketulusan, ada koneksi yang terbangun. Koneksi yang jauh lebih kuat dari sekadar like atau share.
Tapi untuk bisa menciptakan konten seperti itu, dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk tidak ikut-ikutan. Keberanian untuk berjalan pelan. Keberanian untuk tidak relevan, demi tetap jujur.
Siapa yang Diuntungkan dari Konten yang Seragam?
Pertanyaan penting yang jarang kita tanyakan adalah: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua ini?
Jawabannya sederhana: platform.
Semakin seragam kontennya, semakin mudah dikurasi, dikendalikan, dan diprediksi. Konten yang bisa "dijual" adalah konten yang sesuai pola. Kreator yang patuh pada format lebih mudah dipromosikan. Maka semua insentif diarahkan ke sana.
Bukan salah kreator sepenuhnya jika akhirnya mereka memilih ikut tren, menyesuaikan format, atau bahkan membuat ulang konten yang sudah ada. Mereka hanya mencoba bertahan hidup di ekosistem yang tidak berpihak pada keunikan.
Namun sebagai penonton, kita mulai merasa jenuh. Karena tak ada lagi kejutan. Tak ada lagi kesegaran. Semua terasa... sama.
Apakah Ini Akhir dari Kreativitas?
Tidak. Justru ini titik balik.
Ketika semuanya terlihat serupa, konten yang berbeda akan lebih mudah bersinar. Ketika semua orang bicara keras, satu suara yang pelan bisa lebih didengar. Ketika semua orang mengejar perhatian, satu konten yang menawarkan hubungan akan lebih membekas.
Kita tidak bisa mengubah sistem algoritma secara langsung. Tapi kita bisa memilih: apakah kita ingin menjadi bagian dari kebisingan, atau menjadi oase di tengahnya.
Kembali ke Niat Awal
Mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang: kenapa aku membuat konten?
Apakah untuk viral? Untuk dikenal? Untuk uang? Semua itu sah. Tapi jika semua motivasi itu membuat kita kehilangan suara asli kita, maka kita akan kelelahan.
Karena mengejar relevansi itu tidak pernah selesai. Hari ini kamu viral, besok kamu dilupakan. Tapi jika kamu berkarya dari tempat yang jujur, kamu mungkin tidak pernah viral—tapi kamu akan diingat.
Dan di dunia yang bising seperti sekarang, menjadi diingat jauh lebih berarti daripada sekadar terlihat.
Penutup: Di Tengah Bising, Jadilah Sunyi yang Bermakna
Ngonten hari ini terasa seperti maraton tanpa garis akhir. Semua ingin cepat. Semua ingin dilihat. Semua ingin relevan. Tapi di tengah kelelahan itu, kita lupa satu hal: kita tidak perlu berlari di jalur yang sama dengan semua orang.
Kita bisa membuat jalur sendiri. Pelan, sepi, tapi jujur. Dan barangkali, justru dari jalur sunyi itulah kita akan menemukan sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar angka: makna.
Karena itu yang akan membedakan dari semua kebisingan di luar sana.
0 comments